Sabtu, 22 Juni 2013

DALIL DALAM KETAUHIDAN

DALIL
Dalil yang dimaksud dalam ketauhidan ialah suatu keterangan yang dapat menumbuhkan keyakinan dalam hati seseorang, sehingga ia tidak bisa diragukan oleh orang lain .
Dalil tersebut ada dua macam :
Pertama Dalil Ijmali .
Dalil yang singkat yang dapat menyampaikan seseorang kepada keyakinan, namun dalil ini tidak merincikan  jalan sehingga sampai kepada yang ia yakini .
Contohnya : si A bertanya kepada si B
A : Apakah engkau yakin ada Tuhan ?
B : Saya yakin ada Tuhan .
A : Apa dalil atau keterangan sebagai peganganmu ?
B : Ada ini makhluk sebagai bukti adanya Tuhan .
A : Bagaimana kamu tahu ada alam ini menjadi bukti adanya Tuhan ?, coba kamu terangkan jalannya !.
Disini si B tidak sanggub merincikan jalannya . Maka si B ini sudah menguasai dalil Ijmali yang memadai untuk dirinya dalam memenuhi kewajiban agar ia bebas dari dosa dan belengu taqlid, dan agar ia tidak dapat diragukan lagi oleh pihak lain,  Cuma saja si B ini tidak mampu menolak syubhat atau pemikiran sesat yang dilontarkan kepadanya .
Kedua : Dalil Tafsili .
Yaitu : dalil yang teperinci yang membawa seseorang kepada keyakinan dan pula sanggup menolak syubhat yang didatangkan oleh pihak lain yang ingin menggoyahkan keyakinannya .
Umpamanya : si A bertanya lagi kepada si B .
A : Bagaimana engkau tahu adanya makhluk ini bisa menjadi bukti adanya Tuhan ?, coba kamu terangkan jalannya !.
B : Makhluk ini sudah ada, adanya bukanlah satu kemestian ( wajib ), tapi adanya merupakan satu keharusan ( jaiz ), setiap yang harus ada, tentu saja harus tiada, maka adanya dan tiadanya merupakan dua perkara sama-sama harus, tidak mungkin kuat salah satunya dengan sendirinya tanpa sebab lain. Kenyataan makhluk ini telah ada, pastilah ada yang menentukan adanya, dan yang menentukan nya ada ialah Tuhan yang menciptakan nya . 
Jikalau mungkin makhluk ini ada dengan sendirinya, mungkin juga ia tiada dengan sendirinya, karena keduanya sama-sama harus. Perbandingannya dua daun neraca yang sama berat, pasti keduanya sejajar, tidak mungkin tiba-tiba berat sebelah dengan tanpa yang memberatkannya, kalaupun berat sebelah pastilah ada yang memberatkannya .
Dengan demikian, si B telah menguasai Dalil Tafshili yang mampu menolak syubhat yang didatangkan kepada nya .
Yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf dan berdosa bila ia tidak mengetahuinya ialah Dalil Ijmali bagi setiap ’aqidah yang ia imani, karena ini hukumnya Fardhu ‘ain, dan tentu saja dosanya besar .
Adapun dalil tafsili, tidak diwajibkan atas setiap mukallaf, akan tetapi diwajibkan pada satu daerah ada seorang yang menguasainya, kalau tidak maka semua orang didaerah itu berdosa, singkatnya mengetahui Dalil Tafsili hukumnya fardhu Kifayah .
Baik Dalil Ijmali maupun Dalil Tafsili, semuanya berpijak pada ‘Alam / makhluk, yakni     berpijak pada apa yang didapat oleh indera yang lima , yaitu :
-              yang dilihat dengan mata
-              yang didengar dengan telinga
-              yang dicium dengan hidung
-              yang dirasa dengan lidah
-              yang diraba atau dirasa dengan kulit       
Manusia  berpikir dengan akal pada makhluk ini, sehinga didapati sesuatu keyakinan yang benar tentang Tuhan sang pencipta. Akal sebagai alat, berfikir sebagai usaha manusia , dan Alam atau makhluk ini areal atau tempat berfikir akal, keyakinan yang benar tentang Allah ialah Ma’rifah. Setelah itu akal menetapkan yang bahwa adnya alam ini merupakan dalil / bukti atau keterangan bagi adanya Tuhan pencipta .    
Keterangan yang singkat dinamakan dalil Ijmali, dan keterangan yang panjang lebar terperinci atau detail dinamakan Dalil Tafshili .
Keberhasilan dalam hal ini tidak lepas dari pada bantuan Allah dengan hidayahNya .
Kesimpulannya : Dalil Ijmali dan Dalil Tafshili dirumuskan oleh akal dari Alam / Makhluk ini,  maka Dalil tersebut dinamakan dengan Dalil ‘Aqli .
Sebenarnya didalam ayat dan Hadits sudah ada semua i’tiqad beserta keterangannya yang Ijmali, bahkan keterangan yang diterangkan oleh ayat dan hadits itupun merupakan perkara yang ada pada Alam ini, maka keterangan yang dirumus akal dan yang diterangi oleh ayat dan hadits adalah sama, kenapa juga mesti berfikir lagi mencari keterangan pada makhluk ini ?.
Jawabannya : Hanya orang-orang yang tertentu yang mampu menggali keterangan dari ayat hadist, namun bila akal manusia menemukan jalan buntu dalam berfikir atau tidak berhasil, maka ia wajib menerima sebagai mana yang ada dalam ayat hadits, tenru saja dengan bertanya atau belajar kepada yang mengerti ayat hadits dan telah menguasainya .
Firman Allah ta’ala : 
                  {43     النحل  } .فاسئل آهل الذكر ان كنتم لا تعلمون
Artinya : tanyakan olehmu pada orang yang benar-benar ada pengetahuan , jika kamu tidak mengetahui .
Dalam hal ini tentu saja العاماء ورثة الأنبياء       ya’ni Ulama adalah pewaris Nabi-Nabi .
Perlu diingat, wajib ( syar’i ) atas setiap manusia menguasai Dalil / keterangan yang Ijmali, dengan berfikir sendiri pada makhluk ini jika ia mampu, atau dengan bimbingan orang lain yang mengerti, atau mengambil saja Dalil Ijmali yang telah disusun oleh Ulama, kalau tidak ,ia berdosa dengan Allah ta'ala.
ISTILAH-ISTILAH DALAM TAUHID
Sebelumnya perlu kita ketahui beberapa istilah yang ada dalam Ilmu ketauhidan, agar benar-benar mengerti masalah i’tiqad yang dibicarakan.
1.            Yang Wajib ( Mesti ada )
Dalam ilmu Tauhid maksud yang Wajib ialah : Perkara yang tidak dibenarkan oleh akal jika tiada perkara itu, atau tidak masuk akal jika perkara itu tidak ada. Yang dibenarkan akal atau yang masuk akal hanya ada perkara itu .
Contohnya : Mengambil ruang bagi setiap benda, maka akal tidak membenarkan jika tiada mengambil ruang oleh setiap benda, yang dibenarkan oleh akal hanya ada mengambil ruang oleh setiap benda .
Perkara yang Wajib ini, tidak dibenarkan akal akan tiadanya walau sesa’at saja. Artinya tidak dibenarkan pernah tiada, atau sedang tiada, atau akan tiada. Sesa’at saja mungkin tiadanya secara akal, maka itu bukan perkara yang Wajib .
Yang Wajib dalam istilah Tauhid adalah Wajib ‘Aqli, yakni sebagai mana yang telah tersebut diatas barusan, beda dengan yang Wajib dalam istilah Ilmu Fiqih. Kalau dalam fiqih namanya Wajib syar’i, yakni : Perbuatan yang diberi pahala bila dikerjakan dan mendapat siksa bila ditinggalkan. Jangan sampai bertukar dalam mengertikan .
2.            Yang Mustahil (Tidak Mungkin ) .
Yang dimaksud dengan yang Mustahil dalam Ketauhidan ialah : Perkara yang tidak dibenarkan oleh akal jika ada perkara itu. Yang dibenarkan akal hanya tiada perkara tersebut.
Contohnya : Terjadi gerak dan tetap pada waktu yang sama, akal tidak membenarkan ada terjadi gerak dan tetap satu benda pada waktu yang sama, yang dibenarkan oleh akal ialah tiada terjadi demikian .
Maka yang Mustahil ini lawan atau sebalik dari pada yang Wajib. sesa’at saja perkara itu ada, berarti dia bukan perkara yang mustahil. Maka yang pernah ada, atau yang sedang ada, atau yang akan ada, itu bukan perkara yang mustahil .
3. Yang Jaiz ( Mungkin ) .
Maksud dengan yang jaiz dalam Tauhid ialah : Perkara yang adanya dibenarkan oleh akal, dan tiadanya pun dibenarkan oleh akal, Cuma keduanya ada dan tiada bukan pada waktu yang satu. Bukan dibenarkan akal terjadi keduanya pada satu waktu, tapi secara bergantian.
Bila kenyataan nya perkara itu telah ada, maka andai perkara itu tiada sebagai ganti adanya, ini dibenarkan oleh akal. Dan bila kenyataannya perkara itu telah tiada, maka andai perkara itu ada sebagai ganti tiadanya, ini pun dibenarkan oleh akal.
Contoh : hidup kita ini, tentu saja akal membenarkan hidup kita ini ada, dan juga dibenarkan oleh akal bila hidup kita ini tiada sebagai ganti ada, yang terjadi tetap salah satunya.
Perkara yang Jaiz, dibenarkan oleh akal terhadap adanya dan tiadanya bergantian, artinya : mungkin ada ganti tiada, dan mungkin tiada ganti ada.
Perlu diingat : Yang wajib ( musti ) ada , dikatakan wajib wujud
Yang mustahil ( tidak mungkin ) ada , dikatakan Mustahil wujud
Yang jaiz ( mungkin ) ada , dikatakan Jaiz wujud
Yang wajib ada tentu Mustahiln tiada, dan yang Mustahil ada tentu Wajib tiada, dan yang Jaiz ada tentu juga Jaiz tiada.
Dari uraian diatas, bisa dimaklumi yang bahwa status Wajib, Mustahil dan Jaiz itu, tergantung pada pembenaran akal. Maka Wajib,  Mustahil, dan Jaiz itu, dinamakan hukum ‘Aqli.

2 komentar: