KAIDAH FIQHIYAH
Pendahuluan
Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman
dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits,
kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam
peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai
Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid
dalam meng-istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan
kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat
kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
tersebut.
Adapun pengertian Kaidah Fiqhiyah, dapat diurai dari
kaidah dan Fiqih. Kaidah menurut Dr. Ahmad Muhammad
Asy- Syafi’i dalam buku Ushul Fiqh Islami adalah: “Hukum yang bersifat
universal (kulli) yang diikuti oleh satuan satuan hukum juz’i
yang banyak”. Sementara arti fiqih dari beberapa definisi yang dikemukankan
fuqaha’ berkisar pada rumusan berikut:2)
1.
Fiqh merupakan bagian dari Syaria’ah
2.
Hukum yang dibahas mencakup hukum amali
3.
Obyek hukum pada orang-orang mukallaf
4.
Sumber hukum berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil lain yang bersumber
pada kedua sumber utama tersebut
5.
Dilakukan dengan jalan istimbath atau ijtihad sehingga kebenarannya kondisional
dan temporer adanya.
Dengan
demikian pengertian Kaidah Fiqhiyah dapat diartikan diantaranya sebagai, “Hukum–hukum
yang berkaitan dengan asas hukum yang dibangun oleh Syari’ serta tujuan-tujuan
yang dimaksud dalam pensyariatannya “ (Ahmad Muhammad Asy- Syafi’i 1983:5),
atau “Sebagai suatu jalan untuk mendapatkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan” (Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam).
Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Hal yang berhubungan dengan Fiqh
sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada
kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap
kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan
memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni
dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.
Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah
sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad,
atau berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi atas
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah asasiah oleh Imam
Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan
dan menarik kemashlahatan”. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam
Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya.
Adapun Kaidah asasiah ini terdiri atas 5 macam (panca kaidah) yaitu :
a.
Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b.
Kemudharatan itu harus dihilangkan
c.
Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu
tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan.
e.
Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sedangkan
kaidah-kaidah qhairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan
keabsahannya masih tetap diakui, yang oleh beberapa ulama dibagi atas beberapa
macam, di antaranya:
a.
Hasbi ash Shididiqi terdapat 19 macam kaidah
b.
Abdul Mudjib terdapat 40 kaidah yang tidak dipertentangkan dan 20 kaidah yang
diperselisihkan.
Panca Kaidah Asasiah
Panca kaidah
itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al Quran dan as sunnah maupun
dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga sampai dari nash
itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk
panca kaidah itu adalah:
A. Kaidah Yang
Berkaitan dengan Fungsi Tujuan
1. Teks Kaidahnya
” Setiap
perkara tergantung pada tujuannya”
2. Dasar-dasar
Nash Kaidah
Firman Allah
SWT:
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.
[1595] Lurus
berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
Dan mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya dalam
agama yang lurus (QS:Al Bayyinah:5)
Sesuatu yang
bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang
telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
Barang siapa
yang menghendaki pahala dunia niscaya Kami berikan kepadanya pahala di dunia
itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami berikan pula
pahala akhirat itu (QS: Ali Imran:145)
Sabda Nabi SAW
Sesungguhnya
segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seorang itu hanyalah
apa yang ia niati (HR Perawi Enam dari Umar bin Khattab)
Tiada (pahala)
bagi perbuatan yang tidak niat (HR Anas)
Sesungguhnya
manusia itu dibangkitkan menurut niatnya (HR Ibnu Majah dari Abu Harairah)
Niat seorang
mukmin itu lebih baik daripada perbuatan (HR Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
3. Kaidah-kaidah
yang berkenaan dengan Niat
Kaidah Pertama
”Sesungguhnya
(amalan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun
tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya
tidak membahayakan (tidak membatalkan)”.
Kaidah Kedua
”Suatu (amalan)
yang disyaratkat untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan
perbuatannya.”
Kaidah Ketiga
”Suatu (amalan)
yang harus dijelaskan secara garis besarnya dan tidak disyaratkan untuk
terperinci, kemudian disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka
membahayakan.”
Kaidah Keempat
”Niat dalam
sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafal yang
khusus.”
Kaidah Kelima
”Maksud dari
lafal menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat yaitu
dalam sumpah dihadapan qodli, dalam keadaan demikian maksud lafal menurut niat
qodli”.
Kaidah tersebut
sesuai dengan kaidah Nabi SAW:
”Sumpah itu
(maksudnya) menurut niat orang yang menyumpah.”
Kaidah Keenam
”Yang dimaksud
dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafal atau bentuk perkataan.”
Dalam suatu
akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si pembuat dengan lafal yang
diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat/maksudnya, selama yang demikian
itu masih diketahui.
Kaidah Ketujuh
”Seseorang yang
tidak dapat melaksanakan ibadah karena suatu halangan, padahal ia berniat untuk
melakukannya jika tiada halangan, maka ia mendapatkan pahala.”
Kaidah tersebut
berkaitan dengan sabda Nabi SAW”
Apabila seorang
sakit atau berpergian maka ia dianggap beramal sebagaimana ia dalam keadaan
sehat atau tetap di rumah”.
4. Contoh
Aplikasi
a. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan
jumlah rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4
rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap
saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi
niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan
seseoarang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad
saja.
B. Kaidah Yang
Berkenaan Dengan Keyakinan
1. Teks Kaidahnya
”Keyakinan itu
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Yang dimaksud
yakin adalah: sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan maupun dengan
dalil.
Sedang yang
dimaksud ”syak” adalah: ” sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya,
dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa
dapat dimenangkan salah satunya.”
2. Dasar –dasar Nash Kaidahnya
Firman Allah
SWT
Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.
[690] Sesuatu
yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu
yang diperoleh dengan.
”Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS Yunus:36).
Sabda Nabi SAW
”Apabila
seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi
apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar
masjid sehingga mendapatkan baunya.” (HR Muslim)
”Nabi mendapat
pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh sesuatu dalam shalatnya, Nabi
bersabda,” ”Janganlah ia pergi sehingga benar-benar mendengar suara atau
mendapatkan baunya.” (HR Bukhari dan Muslim)
”Apabila
seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa rakaatkah shalatnya,
tiga ataukah empat, maka buanglah keraguan tersebut dan berpeganglah kepada
yang meyakinkan.” (HR Tarmidzi)
Menurut Logika
”Keyakinan
adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab dalam keyakinan terdapat keputusan
(hakim) yang pasti yang tidak hilang oleh keraguan.”
3.Kaidah –kaidah yang berkaitan dengan Yakin
Kaidah Pertama
”Asal itu tetap
sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaanya’
Kaidah Kedua
”Asal itu bebas
dari tanggungan”
Kaidah Ketiga
”Asal itu tidak
ada”
Kaidah Keempat
”Asal dalam setiap kejadian, dilihat
dari waktunya yang terdekat”
Kaidah Kelima
” Asal dari sesuatu adalah kebolehan.”
Kaidah Keenam
” Asal dari dalam kemubahan adalah
keharaman”
Kaidah Ketujuh
”Asal dari
ucapan adalah hakikat ucapan tersebut.”
4. Contoh Aplikasinya
a. Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar,
kemudian dia ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah
yang lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunnahkan sujud
sahwi dua kali.
b. Seorang musafir yang membaca takbiratul Ihram
(bermakmum) dibelakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir
atau bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
c. Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah
sudah sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhshah.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja
Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
3. Paper Dwi
Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam,
Program Pascasarjana, UI, 2007
kaidah ushul fiqh
BAB IPENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah fiqh.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
- II. Rumusan Masalah
- Mengerti dan memahami pengertian dan sejarah perkembangan kaidah-kaidah fiqh
- Menyebutkan pembagian kaidah fiqh
- Apakah manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fiqh?
- Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fiqh?
- Apa beda kaidah ushul dan kaidah fiqh?
- Mengetahui apa itu kaidah umum dan kaidah asasi
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari definisi, pembagian dan sistematika kaidah fiqh.
BAB II
PEMBAHASAN
- I. Pengertian
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya”.
(Q.S. An-Nahl : 26)
Sedangkan dalam tinjauan terminologi kaidah punya beberapa arti, menurut
Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.[1]
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
”Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.[2]
Sedangkan arti fiqh ssecara etimologi lebih dekat dengan ilmu, sebagaimana yang banyak dipahami, yaitu :
”Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama”
(Q.S. At-Taubat : 122)
Dan juga Sabda Nabi SAW, yaitu :
Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama.
Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari dalil-dalil yang tafsili (terperinci)
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul fiqhiyah adalah :
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap kaidah fiqhiyah telah mengatur beberapa masalah fiqh dari berbagai bab.
II. Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan Qawaidul Fiqhiyah diklarifikasikan menjadi 3 fase, yaitu :
- Fase pertumbuhan dan pembentuka
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarahhukumi islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H). Tahun 351 H / 1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri maazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734 M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fiqh telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fiqh baru dibentuk dab ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fiqh yuang dominan adalah Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknnya sangat luas). Atas dasar ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadits yang mempunyai ciri-ciri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqh. Oleh karena itulah periodesasi sejarah kaidah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW, yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :
- Segi sumber : Ia adalah hadits, oleh karena itu, ia menjadi dalil hukum islam yang tidak mengandung al-Mustasnayat
- Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : Ia dikatakan sebagai kaidah fiqh karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
”pajak itu disertai imbalan jaminan”
”Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang lain)”[3]
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai kaidah fiqh. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam ilmu kaidah fiqh, karena turut serta membentuk kaidah fiqh. Para sahabat dapat membentuk kaidah fiqh karena dua keutamaan, yaitu mereka adalah murid Rasulullah SAW dan mereka tahu situasi yang menjadi turunnya wahyu dan terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in dan tabi’ tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama yang mengembangkan kaidah fiqh pada generasi tabi’in adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal kitab Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
”Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke Bait al- mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islamdapat menerima harta peninggalan (tirkah atau mauruts), apbila yang meninggal dunia tidak memiliki ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fiqh adalah Imam Asy-Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu kaidah yang dibentuknya, yaitu :
”Sesuatu yangh dibolehkan dalah keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan ketika tidak terpaksa”
Ulama berikutnya yaitu Imam Ahmad bin Hambal (W. 241 H), diantara kaidah yang dibangun oleh Imam Ahmad bin Hambal, yaitu :
”Setiap yang dibolehkan untuk dijual, maka dibolehkan untuk dihibahkan dan digadaikan”
- Fase perkembangan dan kodifikasi
Pada abad VIII H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah fiqh, karena perkembangan kodifikasi kaidah fiqh begitu pesat. Buku-buku kaidah fiqh terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
- Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
- Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-maliki (W. 750 H)
- Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-Syafi’i (W. 761 H)
- Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn rajab al-Hambali (W. 795 H)
- Fase kematangan dan penyempurnaan
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi idzn. Oleh karena itu kaidah fiqh tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
III. Pembagian Kaidah Fiqh
Cara membedakan sesuatu dapat dilakukan dibeberapa segi :
- Segi fungsi
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya :
”Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu’
- Segi mustasnayat
Kaidah fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Umpamanya adalah :
”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
- Segi kualitas
- Kaidah kunci
”Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
- Kaidah asasi
”Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”
”Kesulitan mendatangkan kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
- Kaidah fiqh yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
IV. Manfaat Kaidah Fiqh
Manfaat dari kaidah Fiqh (Qawaidul Fiqh) adalah :
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
- Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
- Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adapt yang berbeda
- Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung
- Mempermudah dalam menguasai materi hokum
- kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan
- Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahnan baru.
- mempermudah orang yang berbakar fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hokum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topic
- Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hokum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar
- Pengetahuan tentang kaidah fiqh merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
- Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan
- Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
VI. Kedudukan Qawaidul Fiqhiyah
Kaidah fiqh dibedakan menjadi dua, yaitu :
- Kaidah fiqh sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Kaidah fiqh yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang memperdebatkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fiqh sebagai dalil pelengkap.
- Kaidah fiqh sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukumyang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fiqh sebagai dalil hokum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berpendapat bahwa kaidah fiqh boleh dijadikan dalil mandiri.
Kedudukan kaidah fiqh dalam kontek studi fiqh adalah simpul sederhana dari masalah-masalah fiqhiyyat yang begitu banyak. Al-syaikh Ahmad ibnu al-Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada kaidah fiqh ini, maka hukum fiqh yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai berai.”
Dalam kontek studi fiqh, al-Qurafi menjelaskan bahwa syar’ah mencakup dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’, Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat kebahasaan; dan kaidah fiqhyang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak terbatas.
VII. Sistematika Qawaidul Fiqhiyah
Pada umumnya pembahasan qawaidul fiqhiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya, jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
- Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
- Kemudaratan itu harus dihilangkan
- Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
- Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
- Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
VIII. Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fiqh
- Kaidah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis. Sedangkan kaidah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama.
- Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’ (cabang). Sedangkan kaidah fiqh muncul setelah furu’.
- Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam kaidah.
- Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan
- Al-Qawaid al-Khamsah (lima kaidah asasi)
- Kaidah asasi pertama
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
- Kaidah asasi kedua
- Kaidah asasi ketiga
Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
- Kaidah asasi keempat
Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan kemudhoratan atau setidak-tidaknya meringankannya.
- Kaidah asasi kelima
Adat yang dimaksudkan kaidah diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsure berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.
X. Kaidah-kaidah Fiqh yang umum
Kaidah-kaidah Fiqh yang umum terdiri dari 38 kaidah, namun disini kami hanya menjelaskan sebagiannya saja, yaitu :
- “ijthat yang telah lalu tidak bisa dibatalkan oleh ijtihat yang baru”
“itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
- “apa yang haram diambil haram pula diberikannya”
- “Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan seluruhnya”
- “Petunjuk sesuatu pada unsure-unsur yang tersembunyi mempunyai kekuatan sebagai dalil”
- “Barang siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
XI. Kaidah-kaidah Fiqh yang khusus
Banyak kaidah fiqh yang ruang lingkup dan cakupannya lebih sempit dan isi kandungan lebih sedikit. Kaidah yang semacam ini hanya berlaku dalam cabang fioqh tertentu, yaitu :
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang ibadah mahdah
- Kaidah fiqh yang khusuh di bidang al-Ahwal al-Syakhshiyah
“Hukum asal pada masalah seks adalah haram”
Maksud kaidah ini adalah dalam hubungan seks, pada asalnya haram sampai datang sebab-sebab yang jelasdan tanpa meragukan lagi yang menghalalkannya, yaitu dengan adanya akad pernikahan.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang muamalah atau transaksi
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti : jual beli, sewa-menyewa, kerja sama. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti yang mengakibatkan kemudharatan, penipuan, judi dan riba.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang jinayah
“Tidak boleh seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan syari’ah”
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syari’ah adalah pencurian atau perampokan harta yang ada sanksinya, tetapi jika dibenarkan oleh syari’ah maka diperbolehkan. Misalnya : petugas zakat dibolehkan mengambil harta zakat dari muzaki yang sudah wajib mengeluarkan zakat.
- Kaidah fiqh yang khusus di bidang siyasah
Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus beorientasi kepada kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya atau keluarganya maupun golongannya.
- Kaidah fiqh yang khusus fiqh qadha (peradilan dan hukum acara)
“Perdamaian diantara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian antara penggugat dan tergugat adalah baik dan diperbolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.
BAB III
PENUTUP
- I. Kesimpulan
- Kaidah-kaidah fiqh ituterdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyatnya (bagian-bagiannya)
- Salah satu manfaat dari adanya kaidah fiqh, kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dam kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalahfiqh.
- Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua, yaitu :
- Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.
- II. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, HA, 2006, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana
Mujib, Abdul, 1978, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel
Usman, Muslih, 1999, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers
Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana
Mubarok, Jaih, 2002, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers
Djazuli, HA, 2005, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana
Asjmuni, A Rahman, 1976, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang
Ash-shiddiqie, Hasbi, 1999, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, 1998, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam
Faisal, Enceng Arif, 2004, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar